"Dunia berjalan ke belakang dan akhirat berjalan ke depan. Keduanya memiliki pengikut. Jadilah pengikut akhirat dan jangan menjadi pengikut dunia. Sebab, hari ini adalah amal dan bukan hisab, sedangkan besok adalah hisab dan tidak ada amal."

Minggu, 27 Mei 2012

Amalan di Bulan Rajab

Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab


Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)

Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

“Tidak ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.

‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)

Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.


Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:

Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Perayaan Isro’ Mi’roj

Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”

Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)

Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)

Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)

Catatan penting:

Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,

“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]“.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.

Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.


read moreShare

Sabtu, 26 Mei 2012

OBAT RINDU PADA CINTA

Bismillahirrahmanirrahim...



Bilakah rindu melayang menghampiri cinta...


Maka datangnya lah keriangan yang tak terhenti...


Jikalau cinta menanti rindu...


Maka rekatkan nya dengan kesabaran...


Subhanallah...kerinduan memang tidak pernah lepas dengan yang namanya cinta, dimana ada rindu disitu ada cinta yang terlampir. Namun rindu itu akan menjadi indah ketika diberikan pada cinta sejati diatas sebuah pernikahan.


Jika rindu itu sudah terbalut dengan cinta yang belum halal, rindu pada lawan jenis, rindu itu hanya akan menjadi sebuah penjara yang menyakitkan. Kata para pujangga cinta, rindu itu seperti luka yang menganga, seperti langit malam tanpa bintang, seperti pintu yang tak pernah terketuk, karna semua rindu itu sangat sakit ketika tidak dilepas.

Bagaimana mau melepas rindu jika dia yang kamu rindukan belum halal bagimu? Maka benar sekali jika rindu itu sangat menyakitkan karna tidak pernah tersampaikan. Atau mungkin kamu seorang yang mudah menyatakan rindu pada lawan jenis mu yang belum halal bagimu?

Aahh...saya yakin, kamu bukanlah tipe orang yang mudah membuat lawan jenis mu terbuai makna cinta dari syetan. Karna kamu tahu bahwa mendekati Zinapun sudah dilarang.

So...sebisa mungkin kamu harus segera mengobati rindu yang kamu tujukan pada orang yang belum halal bagimu. Caranya :

-*- Mengadulah padaNya, pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Mintalah kesembuhan padaNya, karna hanya Dia lah yang mampu menyembuhkan luka yang menganga dalam hatimu. Karna hanya Dia lah yang selalu memahamimu, percayalah.

-*- Jagalah pandanganmu, sikapmu, terlebih pada lawan jenismu.

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman :”Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya...”
(QS. An-Nur: 30)

Pandangamu yang sangat liar justru membuatmu sangat lelah, maka tahanlah pandanganmu pada orang yang belum halal padamu. Karna lewat pandanganmu lah, syetan-syetan memanahkan kesesatannya.

-*- Jauhkan hatimu dari rindu yang mengikat.

Jangan selalu mengingat-ingat dia yang kamu rindukan, yakinkan hatimu, lepaskan ikatan rindumu padanya gantilah dengan ikatan rindu untuk sujud pada-Nya.

-*- Sibukkan dirimu dengan amalan-amalan yang bermanfaat.

”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (QS. Al-anbiya : 21)

Tingkatkan kesibukanmu denga dzikir, membaca Al-Qur'an lebih intensif atau membaca buku yang bemanfaat yang bisa menambah kerinduanmu pada-Nya bukan padanya.

-*- Menikahlah.

Ini adalah solusi ampuh untuk menghilangkan kegalauanmu pada rasa rindu yang mencekam. Sehingga rindumu bisa terobati tanpa bekas, bahkan rindu mu menjadi sebuah nilai ibadah..
Subhanallah.. ^_^

Wallahua’lam bish shawab...

Posted by _BMB_
(Bukan Muslimah Biasa)
read moreShare

Jumat, 25 Mei 2012

Apa-Apa Al-Fatihah


قال العلامة الإمام الفقيه محمد بن صالح العثيمين – رحمه الله تعالى – في ( شرح بلوغ المرام
) :

Ketika menjelaskan kitab Bulughul Maram, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan

واما ما يفعله بعض العوام من انه كلما أرادوا شيئا قالوا : الفاتحة ؛ وهذا والحمد لله لا يوجد عندنا ؛ لكن يوجد عند إخواننا الذين يفدون إلي البلاد ؛ كل شيء الفاتحة ؛ عند عقد النكاح الفاتحة ، وعند الصلح ، وعند أي شيء ، وهذا بدعة ؛ ولا يجوز ؛


“Adalah kebiasaan sebagian orang awam setiap kali hendak melakukan sesuatu mengatakan ‘alfatihah’. Alhamdulillah perilaku semacam ini tidak dilakukan oleh orang Saudi namun sebagian saudara kita kaum muslimin yang berada di Saudi itu apa apa al fatihah. Ketika akad nikah alfatihah, ketika berunding untuk damai alfatihah. Pokoknya apa apa serba alfatihah. Sikap semacam ini adalah bid’ah yang tidak boleh dilakukan.

لانه لو كانت خيرا لكان أول من يفعلها الرسول صلى الله عليه وسلم وأصحابه لكنها بدعة ، وليست مشروعة
.
Alasannya jika perbuatan semacam ini adalah kebaikan tentu saja yang pertama kali melakukannya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Karena mereka tidak pernah melakukannya maka amalan seperti ini adalah bid’ah dan tidak dituntunkan”.

read moreShare

Kamis, 24 Mei 2012

AMAL ITU TERGANTUNG NIATNYA

الحديث الأول
HADITS KE-1





AMAL ITU TERGANTUNG NIATNYA
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول " إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله , ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه " متفق عليه

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
[Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907]

Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad.

Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”, sejumlah Ulama’ mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.

Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi berkata : “bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya”.

Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para Imam.

Pertama : Kata “Innamaa” bermakna “hanya/pengecualian” , yaitu menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “hanya” tersebut terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya.
Misalnya, kalimat pada firman Allah : “Innamaa anta mundzirun” (Engkau (Muhammad) hanyalah seorang penyampai ancaman). (QS. Ar-Ra’d : 7)
Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam hanyalah menyampaikan ancaman dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas lain. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan kabar gembira dan lain sebagainya. Begitu juga kalimat pada firman Allah : “Innamal hayatud dunyaa la’ibun walahwun” à “Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan dan permainan”. (QS. Muhammad : 36)
Kalimat ini (wallahu a’lam) menunjukkan pembatasan berkenaan dengan akibat atau dampaknya, apabila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka kehidupan dapat menjadi wahana berbuat kebaikan. Dengan demikian apabila disebutkan kata “hanya” dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan betul pengertian yang dimaksudkan.

Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam. Tentang sabda Rasulullah, “semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.

Kedua : Kalimat “Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya” oleh Khathabi dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang meng-qadha sholat tanpa niat maka tidak sah Sholatnya, walahu a’lam

Ketiga : Kalimat “Dan Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya” menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa kalimat syarat dan jawabnya, begitu pula mubtada’ (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda, sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik secara bahasa atau syari’at, maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rosul-Nya maka akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya.

Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais. Wallahu a’lam
read moreShare

Rabu, 23 Mei 2012

Bolehkah MENGIRIM PAHALA Kepada Si Mayyit?

Ibadah di dalam Islam bersifat ‘tauqifiyah’ artinya bahwa ibadah tidak ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Maka tidak boleh seseorang membuat ibadah atau melakukan ibadah tanpa adanya dalil syar’i yang memerintahkannya. Melakukannya bukanlah termasuk keta’atan kepada Allah Subhanahu waTa’ala melainkan bentuk kedurhakaan terhadapNya, Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. asy-Syura: 21)


“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. al-Jatsiyah:18)

Konsekuensi bagi orang yang beribadah tanpa adanya dalil syar’i adalah ibadahnya tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu waTa’ala, sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak” (Muttafaq ‘alaih)

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan/ ibadah yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim).

Lalu bagaimana dengan menghadiahkan/ mengirim pahala untuk orang yang meninggal (Mayyit)? Apakah ada dalil yang memerintahkannya?

PERBEDAAN PENDAPAT DI ANTARA PARA ULAMA

Menghadiahkan pahala untuk orang yang meninggal (mayyit), apakah sampai kepada mereka atau tidak? bukanlah perkara yang baru terjadi pada masa kita saat ini, tetapi masalah tersebut merupakan masalah klasik yang sejak dulu para ulama berselisih pendapat di dalamnya.

Ada dua pandangan dalam hal ini:
1. Bahwa semua amal shalih yang dihadiahkan pahalanya untuk si mayyit adalah sampai kepadanya, seperti: membaca al-Qur’an, puasa, shalat, dan ibadah-ibadah yang lainnya.
2. Bahwa amal shalih yang pahalanya dihadiahkan untuk si mayyit tidak sampai kepadanya sedikitpun kecuali terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu sampai kepadanya. Dan ini merupakan pendapat yang rajih (yang kuat).

DALIL DARI PENDAPAT YANG RAJIH

1. Firman Allah Subhanahu waTa’ala,
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. an-Najm: 39)

2. Hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
Dari Abu Hurairah radiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akannya (orang tuanya).” (HR. Muslim)
Sementara paman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam Hamzah radiyallaahu ‘anhu, istri beliau Khadijah radiyallaahu ‘anhaa, tiga putri beliau telah meninggal mendahului beliau, tetapi tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau membaca al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya untuk salah seorang di antara mereka, atau beliau menyembelih, berpuasa atau pun shalat dan menghadiahkan pahalanya untuk mereka. Dan hal itu pun tidak pernah dinukil dari salah seorang di antara para sahabat radiyallaahu anhum. Kalau seandainya hal tersebut baik dan disyari’atkan, maka niscaya mereka telah mendahului kita dalam pelaksanaannya.

Adapun ibadah-ibadah yang terdapat dalil yang menunjukkan pengecualiannya dan sampainya pahala yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal adalah: haji, umrah, puasa wajib, shadaqah, dan do’a. Al-Hafizh ibnu katsir rahimahullaah ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu waTa’ala, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm:39) berkata, “dari ayat ini Imam asy-Syafi’I rahimahullaah dan para pengikutnya menyimpulkan, bahwa bacaan al-Qur’an yang dihadiahkan pahalanya untuk orang yang meninggal
tidaklah sampai kepadanya, karena hal tersebut bukanlah dari amal dan usahanya, oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk melakukannya dan tidak pula beliau membimbing mereka kepadanya baik dengan ucapan maupun perbuatan. Dan tidak pula dinukil dari salah seorang sahabat radiyallaahu ‘anhum. Dan kalau seandainya hal tersebut merupakan kebaikan, niscaya mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya sedangkan ibadah hanya terbatas pada nash-nash dan tidak boleh dilakukan dengan menggunakan kias-kias dan ra’yu. Adapun do’a dan shadaqah, maka hal itu disepakati sampainya pahala dan terdapat nash dan dalil syar’i atasnya”. (lihat: Tafsir ibnu Katsir 4/258).

Kemudian jika kita menganggap bahwa pahala amal-amal shalih yang dihadiahkan semuanya sampai kepada si mayyit, maka yang paling utama dan yang sangat bermanfaat untuk si mayyit adalah do’a. Lalu kenapa kita meninggalkan apa yang dianjurkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berpaling kepada perkara-perkara lain yang tidak pernah dilakukan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam: dan juga para shahabatnya radiyallaahu ‘anhum?! Sebaik-baik kebaikan adalah apa yang terdapat di dalam petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

FATWA ULAMA TENTANG MENGIRIM PAHALA UNTUK SI MAYYIT

Pertanyaan:
Syaikh bin baz rahimahullaah pernah ditanya tentang menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an dan shadaqah untuk ibu, baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal?

Jawaban:
“Adapun membaca al-Qur’an, maka para ulama berbeda pendapat tentang sampainya pahala tersebut kepada si mayyit kepada dua pendapat, dan pendapat yang paling kuat adalah tidak sampainya pahala kepada si mayyit karena tidak adanya dalil yang menjelaskan tentangnya; karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengerjakannya untuk keluarga beliau dan kaum muslimin yang telah meninggal seperti putri-putri beliau yang meninggal ketika beliau masih hidup, dan juga tidak pernah dikerjakan oleh para sahabatnya radiyallaahu ‘anhum sepengetahuan kami. Maka yang lebih utama bagi seorang mukmin untuk meninggalkannya, begitu juga dengan shalat dan puasa sunnah untuk mereka, karena semua itu tidak ada dalil yang menjelaskannya. Sedangkan hukum asal dalam ibadah adalah tauqifiyah atau tidak ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Adapun shadaqah, maka ia dapat bermanfaat baik untuk orang yang hidup maupun yang sudah meninggal berdasarkan ijma’ kaum muslimin, begitu juga dengan do’a. Orang yang hidup, tidak diragukan lagi bahwa dia mendapatkan manfaat dari shadaqah yang ia keluarkan atau dari orang lain, begitu juga dengan do’a, maka orang yang mendo’akan kedua orangtuanya ketika keduanya masih hidup, maka mereka mendapatkan manfaat dari do’anya, begitu pula haji apabila keduanya tidak mampu karena kondisinya (yang renta) atau sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, maka hal itu memberikan manfaat kepada mereka,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya seorang lelaki mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua renta, tidak dapat menunaikan haji, apakah aku boleh menghajikan atau mengumrahkan untuknya?” Beliau menjawab, “Berhaji dan berumrahlah untuk ayahmu!”, maka ini menunjukkan bahwa menghajikan orang yang telah meninggal atau yang masih hidup yang tidak mampu melaksanakannya karena faktor usianya yang telah lanjut atau sakit baik lelaki maupun perempuan adalah boleh. Maka bershadaqah, berdo’a, berhaji atau umrah untuk orang yang meninggal dan orang yang lemah (tidak mampu) semua dapat memberikan manfa’at menurut semua para ulama, begitu juga berpuasa untuk orang yang telah meninggal apabila puasa tersebut adalah puasa wajib seperti puasa nadzar, kafarat, atau puasa ramadhan berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang meninggal dan memiliki tanggungan (hutang) puasa, maka hendaklah walinya yang berpuasa untuknya.” (Muttafaq ‘alaih).
Dan banyak lagi hadits-hadits yang senada dengannya, akan tetapi bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena adanya udzur syar’i seperti sakit atau safar, kemudian ia meninggal sebelum mengqadha puasanya, maka tidak ada qada’ baginya dan tidak pula memberi makan orang miskin sebanyak puasa yang ditinggalkannya, karena dalam hal ini dia memiliki udzur. (lihat: Majmu’ Fatawa dan Maqalat Syaikh Bin Baz rahimahullah 4/348).

Dari uraian di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa menghadiahkan/ mengirim pahala untuk orang yang masih hidup atau yang telah meninggal tidak sampai kecuali ibadah-ibadah tertentu yang memang terdapat dalil shalih yang menjelaskan tentang hal tersebut seperti: puasa wajib, shadaqah, do’a, haji atau umrah, berdasarkan pendapat yang Rajih (lebih kuat). Oleh karena itu cukup bagi kita hanya mengamalkan dan memperbanyak ibadah-ibadah yang jelas-jelas terdapat dalil atasnya. Karena tidak ada kebaikan yang paling baik kecuali dalam mengikuti petunjuk Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radiyallaahu ‘anhum. Wallahu Ta’ala A’lam. (Ust. Abu Nabiel, Lc)

read moreShare

Minggu, 20 Mei 2012

MASA DEPAN ISLAM BERADA PADA MANHAJ SALAF

Diketik ulang dari buku Mulia  Dengan Manhaj Salaf Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawaz









Banyak sekali tercantum di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir
serta  pengakuan dari dunia internasional bahwa masa depan hanyalah bagi
Islam. Lantas siapakah yang akan mengembalikan kejayaannya?

Sesungguhnya kami sangat yakin sekali bahwa yang akan mengembalikan

kejayaan Islam adalah manhaj Salafi, sebagaimana yang disebutkan dalam

hadits-hadits Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam.



  Allah Ta’ala berfirman:



“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)

mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan

cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai. Dia-lah yang

telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur’an)  dan agama yang

benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik

tidak menyukai.” (QS. At-Taubah: 32-33)





  Dari an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu’anhu, ia berkata,
“Kami sedang duduk-duduk di masjid –dan Basyir adalah orang
yang selalu menahan lisan- lalu datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyani dan
berkata, ‘Wahai Basyir bin Sa’d, apakah engkau hafal satu hadits dari
Rasulullah Shallahu’alaihi wa Sallam tentang kepemimpinan?’ Maka Hudzaifah berkata, ‘Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
‘Kalian berada di bawah naungan zaman nubuwwah hingga
batas waktu yang telah dikehendaki Allah. Kemudian Allah mencabutnya
pada saat yang telah dikehendaki-Nya. Kemudian akan berdiri khilafah
yang berjalan di atas manhaj nubuwwah dan akan bertahan sampai
batas waktu yang telah dikehendaki Allah. Kemudian Allah mencabutnya
pada saat yang telah dikehendaki-Nya. Kemudian akan berdiri
kerajaan-kerajaan turun temurun dan akan bertahan sampai batas waktu
yang telah dikehendaki Allah, kemudian Allah mencabutnya pada saat yang
telah dikehendaki-Nya. Kemudian akan berdiri kerajaan diktator dan akan
bertahan sampai batas waktu yang telah dikehendaki Allah, kemudian Allah
mencabutnya pada saat yang telah dikehendaki-Nya. Kemudian setelah itu
akan berdiri khilafah yang berjalan di atas manhaj nubuwwah.’ Kemudian beliau diam.”[1]
Dari Tamim ad-Dari Radhiyallahu’anhu ia berkata, “Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam bersabda,
“Sungguh agama Islam ini akan sampai keseluruh pelosok bumi yang dilalui malam
dan siang. Allah tidak akan membiarkan rumah di seluruh kota dan pelosok
desa kecuali Alah akan masukkan agama ini dengan memuliakan yang mulia
dan merendahkan yang hina. Yakni Allah akan memuliakan dengan Islam dan
menghidangkannya dengan kekufuran.”
Tamim berkata,
“Aku telah
mengetahui hal itu terjadi pada keluargaku. Siapa yang masuk Islam
diantara mereka mendapatkan kebaikan, kemuliaan, dan kekuatan. Sedangkan
yang kafir dari mereka mendapatkan kehinaan, kekerdilan, dan
kelemahan.”[2]
Hadits-hadits ini adalah penafsiran
dari ayat di atas. Maka dengan maknanya yang luas dan menyeluruh
sepatutnya memahami firman Allah bahwa Islam akan menguasai seluruh
pelosok bumi dan akan sampai kepada semua manusia, baik di pedalaman
maupun perkotaan.
Dan tidak sepatutnya seseorang menyangka bahwa ini telah terjadi pada masa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam dan
Khulafa-ur Rasyidin serta raja-raja Muslim yang shalih. Akan tetapi
tidak diragukan bahwa kemenangan agama dan penyebarannya telah meluas
pada masa mereka, namun pembicaraan ini tentang kesempurnaan, dan
kesempurnaan itu tidak terjadi, kecuali dengan menguasai timur dan barat
sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam
dan itu pasti akan terjadi dan akan tiba masanya tanpa keraguan.
Seakan-akan aku melihat kuda-kuda pasukan kaum Muslimin menghujamkan
tapal-tapalnya di negara-negara Eropa dan non-Arab seperti yang
dikabarkan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam,
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam pernah
ditanya, “Dari dua kota, manakah yang pertama kali ditaklukkan:
Konstantinopel ataukah Romawi?” Beliau menjawab, “Kota Heraklius yang
pertama kali ditaklukkan.” Maksudnya adalah Konstantinopel.[3]
Dan telah terbukti pembebasan (penaklukan) kota Konstantinopel yang pertama
kali di bawah komando khalifah Utsmani Muhammad al-Fatih, dan pasti
akan terjadi penaklukkan yang kedua dengan izin Allah seperti yang
dikabarkan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam,
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam
bersabda, “Pernahkah kalian , mendengar  tentang sebuah kota sebagian
darinya di daratan sementara sebagian lainnya berada di lautan?” Mereka
menjawab, Rasulullah.” Beliau bersabda, “Tidak akan tegak hari Kiamat
sebelum 70.000 dari keturunan bani Ishaq menyerangnya. Ketika mereka
mendatanginya maka mereka turun. Mereka tidak berperang dengan senjata
tidak pula melemparkan satu panah pun, mereka mengucapkan, ‘laa ilaaha illallahu wallahu akbar,’ maka salah satu bagian yang lain juga jatuh (ke tangan kaum Muslimin). Kemudian kelompok yang kedua juga mengucapkan, ‘laa ilaaha illallahu wallahu akbar,’ maka sisi kota yang lain juga jatuh. Kemudian kelompok ketiga juga mengucapkan ‘laa ilaaha illallahu wallahu akbar,’ maka dibukalah kota itu bagi mereka, lalu mereka memasukinya dan mendapatkan ghanimah (harta
rampasan perang) yang banyak. Dan ketika mereka sedang
membagi-bagikannya, tiba-tiba terdengar suara lantang, ‘Dajjal telah
keluar!!’ maka mereka pun meninggalkan semuanya dan kembali.”[4]
   
         Syaikh Ahmad Muhammad Syakir Rahimahullah
berkata, “Penaklukan Konstantinopel yang dikabarkan dalam hadits ini
akan terjadi dalam waktu dekat atau jauh, hanya Allah yang
mengetahuinya, dan itu adalah kemenangan yang benar ketika umat Islam kembali kepada agamanya yang sekarang mereka berpaling darinya. Adapun
penaklukan Turki yang terjadi sebelum masa kita ini, maka ia adalah
pembuka bagi kemenangan yang lebih besar kemudian, ia (Konstantinopel)
akan lepas dari tangan umat Islam ketika ia mengumumkan bahwa
pemerintahannya bukan pemerintahan Islam dan bukan pemerintahan agama,
dan kaum kafir menguasainya dan memerintah rakyat dengan undang-undang
paganis yang kafir. Dan kemenangan Islam Insya Allah, seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallahu’alahi wa Sallam.”[5]
            Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimahullah berkata,
“Kemenangan pertama telah terjadi (yaitu penaklukan Konstantinopel) di
bawah komando Muhammad al-Fatih al-‘Utsmani seperti yang sudah masyhur,
dan itu setelah berlalu 800-an tahun sejak Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam memberitakan
kemenangan tersebut. Dan kemenangan kedua akan terwujud dengan izin
Allah, bahkan pasti akan terjadi, dan kalian akan mengetahuinya tidak
lama lagi. Dan tidak keraguan pula bahwa kemenangan kedua ini
berkonsekuensi kepada kembalinya khilafah raasyidah ke tangan umat Islam.”[6]
Ini semua tidak meninggalkan keraguan sedikit pun bahwa masa depan akan
berada pada agama Allah dengan seizing dan hidayah-Nya.
Secara fitrah, sesungguhnya manusia sekarang ini sedang mengalami
kenyataan pahit dalam kehidupan serta rohaninya, kesusahan telah menimpa
mereka disebabkan jauh dari naungan Islam yang haq, maka sudah menjadi
keharusan jika mereka berpecah-belah, berada dalam kebingungan,
kehinaan, kekalahan.
            Oleh karena itu, manusia membutuhkan satu manhaj (metode)
untuk mereka jalankan dan mengembalikan manusia agar beradaptasi
(bersesuaian) dengan alam yang ia hidup di dalamnya, dan menciptakan
tatanan masyarakat yang masing-masing individunya menjadi saudara karena
Allah, yang diikat dengan aturan ilahi, sebagiannya akan menguatkan
sebagian yang lain, dan mempertahankan keberadaan mereka dari keburukan.
Manusia sendiri tidak akan mendapatkan atau melihat jalan yang lurus,
kecuali jika ia kembali kepada manhaj Rabb-nya yang bisa mengembalikan
kepada fitrah. Karena manhaj ilahi tersebut adalah agama fitrah yang
Allah menciptakan manusia di atasnya. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah
Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30)
Para pakar barat banyak berbicara tentang faktor-faktor yang
menghancurkan kota mereka, tetapi setiap orang dari mereka mendudukkan
masalah hanya dari sudut pandang-nya dalam khyalan yang membentuk
gambaran-gambaran dan ciri-ciri dari jalan keluar yang mereka merangkak
menuju kepadanya. Sementara orang yang paling bijak diantara mereka
mengakui Islam akan datang, tidak ada tempat berlari darinya dan ia akan
tersebar luas tanpa ada keraguan seperti yang dikatakan oleh George
Bernardshow, “Aku mempersaksikan bahwa Muhammad –Shalallahu’alaihi wa Sallam- akan diterima di Eropa nantinya, dan sekarang ia telah mulai diterima. Dan saya berpendapat bahwa sepantasnya Muhammad Shalallahu’alaihi wa Sallam- disebut
sebagai penyelamat manusia dan orang yang semisalnya jika memegang
tampuk kepemimpinan dunia pada zaman sekarang niscaya akan berhasil
dalam mengatasi berbagai masalah dan akan menciptakan keselamatan dan
kebahagiaan di muka bumi.”[7]
Demikianlah persaksian para pakar politisi barat bahwa masa depan nantinya ada di
tangan Islam, meskipun demikian mereka tetap saja tidak mau berjalan
menuju Islam, tetapi malah memeranginya guna memadamkan cahaya Allah
meskipun mereka tahu Islam itulah yang benar. Allah Ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad)
seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan
dirinya, mereka itu tidak beriman (kepada Alllah).” (QS. Al-An’aam: 20)
Inilah semua karena adanya hikmah Allah yang sangat bijaksana dalam
membuktikan kebenaran firman-Nya dan sabda Rasul-Nya bahwa kesempurnaan
agama dan kepemimpinannya akan terjadi walaupun tidak dikehendaki oleh
orang-orang kafir dan para pendurhaka. Renungkanlah firman Allah Ta’ala:
“Walaupun orang-orang kafir membenci,” dan perhatikanlah firman-Nya, “Walaupun orang-orang musyrik membenci.”
Jadi jelaslah bahwa masa depan ada di tangan Islam. Akan tetapi, apa
ciri-ciri manhaj yang akan membawa umat Islam kepada masa depan yang
cerah, kemajuan yang nyata, dan kemenangan yang pasti atas musuh-musuh
Allah dengan izin-Nya?
A.    Sesungguhnya ia adalah manhaj yang berjalan di atas manhaj yang berjalan di atas jejak Shahabat Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam. Ini ditunjukkan oleh beberapa hal berikut:
Pertama: Bahwa masa depan Islam akan tercapai dengan mengembalikan khilafah rasyidah di atas manhaj nubuwwah, seperti ditegaskan dalam hadits Hudzaifah.
Kedua: Sesungguhnya yang telah mewujudkan kemuliaan Islam adalah khilafah rasyidah (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali) yang datang sesudah masa kenabian dan berada di atas manhaj nubuwwah.
Ketiga: Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam telah mengabarkan tentang khilafah rasyidah
yang berada di atas manhaj nubuwwah, maka jelas bahwa  masa depan Islam
seperti masa lalunya yang berada dalam kemenangan, kemajuan, dan perkembangan pesat.
Keempat: Sesungguhnya yang mewujudkan khilafah rasyidah setelah masa kenabian adalah para Shahabat Radhiyallahu’anhum dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. Jadi, yang mengembalikan khilafah rasyidah di atas manhaj nubuwwah ialah mereka yang berada di atas manhaj Salafush Shalih dari kalangan Shahabat dan pengikutnya.
Kelima: Bahwa memerangi Yahudi di akhir zaman tidak dilakukan oleh para Shahabat, lantas bagaimana mendudukan khitab (titab) Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam kepada mereka sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Hurairah dan hadits Ibnu ‘Umar, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
“Kalian pasti akan memerangi Yahudi. Sungguh, kalian akan membunuhi mereka
sampai batu berkata, ‘Wahai Muslim, ini ada orang Yahudi, kemari dan bunuhlah dia.”[8]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani Rahimahullah menjelaskan,
“Maksud ucapan Rasul “kalian pasti akan memerangi Yahudi” menunjukkan
bolehnya memberikan titah kepada orang yang bukan pelakunya karena
adanya kesamaan jalan dan prinsip hidup. Seperti titah dalam dalam
hadits ini diperuntukkan bagi para Shahabat, tetapi yang dimaksud adalah
orang yang datang jauh setelah mereka. Karena mereka memiliki landasan
keimanan yang sama (dengan para Shahabat) sehingga lafazh hadits di atas
sangat sesuai bila ditunjukkan juga kepada mereka.[9]
Maka menjadi jelas bahwa orang yang datang untuk mewujudkan masa depan Islam
adalah mereka yang berada di atas manhaj para Shahabat Radhiyallahu’anhum.

B.     Ia adalah manhaj pembenahan (perbaikan) dan pendidikan yang lurus. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal berikut

Pertama:
Bahwa manhaj Shahabat yang telah mewujudkan khiafah yang lurus dan
bersih setelah masa kenabian adalah manhaj yang mendidik dan
memperbaiki. Jadi, manhaj orang-oang yang mewujudan khilafah yang lurus
yang berada di atas manhaj nubuwwah, adalah manhaj yang mampu mengadakan
perbaikan dan pembenahan.

Kedua: Bahwa bicaranya bebatuan dan pepohonan kepada generasi yang mewujudkan khilafah rasyidah di
atas manhaj nubuwwah menunjukkan bahwa manhaj mereka adalah manhaj yang
mampu memperbaiki dan mendidik, “Wahai kaum muslim! Wahai hamba Allah!”
Sementara penghambaan kepada Allah tidak akan terwujud dalam diri
manusia, kecuali dengan perbaikan dan pendidikan
.
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam bersabda,
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umat Islam memerangi Yahudi, umat Islam akan
membunuhi mereka hingga seorang Yahudi bersembunyi di balik batu dan
pohon, maka batu atau pohon berkata, ‘Wahai Muslim, wahai hamba Allah,
ini ada orang Yahudi di belakangku, kemari dan bunuhlah dia.’ Kecuali
pohon Gharqad karena ia pohon orang Yahudi.”[10]

Ketiga:
Sesungguhnya kemenangan dan kejayaan Islam di muka bumi adalah buah dari
usaha perbaikan dan pendidikan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan
yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan
agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan)
mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka
(tetap) beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan
sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka
mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur: 55)
Ini merupakan sebuah janji yang sudah terbukti, tidak ada yang bisa
menolak, dan janji yang jujur tidak ada yang mendustakan karena ia
adalah janji Allah, dan janji Allah pasti benar, dan sekali-kali Allah
tidak akan mengingkarinya
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang
diantara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia
 sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi.
Khilafah adalah janji Allah bagi kelompok berian pada setiap masa. Ia ketetapan
dari Sunnatullah dan Anda tidak akan melihat perubahan pada Sunnatullah
dan sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”. Sementara, permulaan khilafah dan sebagai tanda pemahamannya adalah “dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai untuk mereka.”
            Adapun kekuasaan merupakan awal kekhalifahan, maka kekuasaan dalam agama adalah mengatur kehidupan dan mensiasatinya. Namun, kekuasaan itu tidak dianggap sempurna melainkan setelah mampu meneguhkan hati dengan keimanan, jika
nilai agama telah tertanam baik di dalam lubuk hati para da’i dan
menghiasi seluruh prilaku mereka maka ketahuilah pada saat itu janji
Allah sudah dekat.
            Adapun kekuasaan bisa dianggap sebagai tanda kekhilafahan sebab kekhilafahan berfungsi sebagai media untuk memakmurkan bumi di atas manhaj Allah, memanfaatkan segala sesuatu yang dititipkan Allah kepadanya untuk meraih ridha Allah, maka
orang-orang mukmin ketika agama telah meguasai hati mereka sebelum
tanah mereka, mereka akan memegang kendali Negara penuh dengan kebaikan
dan keadilan, mereka akan tegar di hadapan syahwat yang tumbuh di muka
bumi dan akan membawa manusia untuk mewujudkan manhaj Allah seperti yang
dinginkan-Nya. Karena itulah mereka menebarkan keamanan dan menumpas
ketidakadilan  maka masyarakat mereka menjadi tempat
yang aman, tenang, dan tenteram. Di sini tampaklah pengaruh tauhid dan
beribadah hanya kepada Allah saja sebelum dan sesudah kekhilafahan, dan
kekuasaan dalam firman Allah sebagai faktor kekhilfahan, kekuasaan, dan
keamanan “mereka (tetap) beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun.” Lantas apakah realisasi ibadah kepada Allah dituntut setelah adanya khilafah dan kekuasaan?
Jawabnya bahwa merealisasikan tuahid dan ibadah hanya kepada Allah saja merupakan faktor utama tegaknya khilafah dan kekuasaan.
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya khilafah dan kekuasaan merupakan bentuk
beban terhadap diri dan kehidupan. Maka khilafah dan kekuasaan menuntut
untuk tidak berlaku sombong dan congkak atau kurang amanah terhadapnya
ketika memegang kekuasaan dan teledor dalam menegakkan perintah dan agama Allah.
Sesungguhnya banyak jiwa yang mampu tegar menghadapi berbagai cobaan dan kesulitan, tetapi sedikit yang tahan uji ketika berhadapan dengan kekuasaan dan kenikmatan. Bukankah ujian itu bisa dengan kesusahan dan kesenangan?
Sesungguhnya ketegaran dan keteguhan hati di atas kebenaran setelah berkuasa,
menempati posisi yang sangat tinggi di atas kekuasaan dan khilafah
karena hal itulah yang memelihara dan melindungi utuhnya kekuasaan. Ini
adalah hakikat yang disebutkan didalam Al-Qur’an,
…Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat,
Mahaperkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami berib kedudukan di muka
bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh
berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan kepada Allah lah
 kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 40-41)
Sesungguhnya yang dimaksud adalah ketegaran di atas manhaj setelah
meraih khilafah dan kekuasaan seperti generasi terdahulu yang mampu
tegar di atas manhaj, padahal mereka mendapat bermacam-macam ujian yang
berat dari orang-orang kafir.
Dengan demikian jelaslah bahwa tauhid dan beribadah hanya kepada Allah saja
adalah faktor utama bagi terwujudnya khilafah dan kekuasaan. Allah telah mensifati generasi Salaf dengan iman dan amal shalih sebelum mereka berkuasa dan memegang khilafah. Maka
yang demikian itu menjadi tujuan utama ditegakkannya khilafah dan
kekuasaan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala
(yang artinya),
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di
antara  kamu yang beriman dan mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar
mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka (tetap) beribadah kepada-Ku dengan tidak
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir
 setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur: 55)
Allah memenangkan Nabi-Nya, menegakkan agama-Nya, maka mereka pun
menjadi aman, dan janji Allah akan terwujud untuk kesekian kalinya, dan
senantiasa akan terwujud dan benar-benar terjadi selama kaum Muslimin
memenuhi syarat yang diberikan oleh Allah, “Mereka (tetap) beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun.”
            Akan tetapi kemudian mereka mengubahnya, maka Allah mengubah keadaan mereka, “Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Sesungguhnya tauhid dan beribadah hanya kepada Allah saja adalah hakekat yang besar
yang harus diwujudkan oleh siapa saja yang ingin sampai kepada hakekat
janji Allah dan harus mamapu membuktikan hakekatnya dalam interaksi
kehidupan yang Islami, sedangkan ia mengetahui syarat-syaratnya sebelum
tertimpa keraguan dan kebimbangan atas datangnya janji kemenangan
tersebut.
Sungguh, tidak setiap kali umat ini berjalan di atas  manhaj Allah dengan tujuan agar agama ini
seluruhnya milik Allah, maka janji Allah pasti terwujud berupa
kekhalifahan, kekuasaan, dan keamanan, “Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.” (QS. Al-Hajj: 40)
Jika tauhid dan beribadah hanya kepada Allah saja merupakan sebab utama
bagi panutan yang pertama, yaitu Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya Ridhwanullahi’alaihim ajma’iin umtuk meraih khilafah dan kekuasaan, maka begitu pula hal tersebut merupakan sebab utama bagi ath-tha-ifah al-manshurah untuk
meraih khilafah dan kekuasaan karena mereka satu manhaj dan prinsip
dengan Rasulullah dan para Shahabatnya. Sebab, akhir umat ini tidak akan
baik, kecuali dengan apa yang membuat baik generasi pertama umat ini.
            Telah namapak dengan penuh keyakinan dan telah kami lihat secara nyata bahwa manhaj yang mampu mengembalikan khilafah rasyidah adalah
manhaj yang berdiri di atas manhaj nubuwwah. Karena, tidak ada manhaj
yang mampu mewujudkan masa depan Islam serta mampu mematahkan serangan
Yahudi dan membabat habis gerakan setiap musuh yang berbahaya kecuali manhaj salaf.[11]



 










[1] Shahih li ghairihi: HR.


Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 439) dan Ahmad (IV/273) dan selainnya.

Kata Imam al-‘Iraqi hadits ini shahih. Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawaa-id (V/189), “Para perawinya tsiqah.” Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no.5).



[2]  Shahih: HR. Ahmad (IV/103), al-Hakim (IV/430-431), dan selainnya.



[3]  Shahih: HR. Ahmad (II/176) ad-Darimi (I/126), al-Hakim (IV/422, 508, 555)



[4]  Shahih: HR. Muslim (no. 2920)



[5] Syarah Musnad Imam Ahmad (XVII/103)



[6] Silsillah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/33)



[7]  Dinukil dari Bashaa-iru Dzawisy Syaraf (hal. 158-159)





[8]  Shahih: HR.

Al-Bukhari (no. 2925) dan Muslim (no. 2921 (79)) lafazh ini milik

Muslim, dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhuma. Juga dari Shahabat

Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2926) dan Muslim (no. 2922).



[9] Fathul Baari (VI/610).



[10]  Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2926 dan Muslim (no. 2922) lafazh ini milik Muslim dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyaalhu’anhu.



[11] Diringkas dari Bashaa-iru Dzawasy Syaraf bi Marwiyyati Manhajas Salaf (hal.156-165)


sumber: fakir ilmu


read moreShare